FOKUSMEDIANEWS.COM, KOTA BOGOR – Keberadaan Bumi Parawira merupakan inisiatif dari Wali Kota Bogor, Bima Arya. Dirinya memandang perlu adanya sebuah galeri yang menampilkan Kota Bogor dari masa ke masa untuk mengedukasi masyarakat terhadap sejarah. Nama Bumi Parawira sendiri dipilih setelah melalui hasil riset terlebih dahulu.
Kini Galeri Pariwara telah terwujud. Galeri tersebut berada di lantai 3 Gedung Perpustakaan Kota Bogor yang berlokasi di Jalan Kapten Muslihat, Kelurahan Pabaton, Kecamatan Bogor Tengah. Tepatnya di sebrang Gereja Katedral Bogor.
Kepala Diarpus Kota Bogor, Rudiyana mengatakan Bumi Pariwara ini memiliki arti rumah para pemimpin yang diambil dari bahasa sansekerta.
“Ini bercerita tentang Kota Bogor yang banyak melahirkan pemimpin. Mulai dari Prabu Siliwangi, Presiden Soekarno dan sampai Jokowi. Dan ada juga wali kota dari masa ke masa dan itu semua mereka terkait dengan Kota Bogor,” kata Rudiyana saat peresmian, mendampingi Wali Kota Bogor, Bima Arya, Kamis (28/12/2023).
Galeri Bumi Pariwara membuat pengunjung seperti melewati lorong waktu dari masa kerajaan hingga saat ini. Konten yang terdapat pada Galeri Bumi Parawira ini menonjolkan lukisan-lukisan yang digambar oleh para pelukis yang dilalui hasil riset terlebih dahulu oleh tim riset yang kemudian divisualisasi ke dalam bentuk lukisan.
Pada fase Kerajaan Pajajaran ditampilkan peristiwa-peristiwa penting di masa itu, seperti penobatan Sri Baduga Maharaja yang akhirnya menjadi Hari Jadi Bogor, adegan Prabu Siliwangi rapat di Paseban Sri Bima, perjanjian Kerajaan Sunda dan Portugal. Selain itu akan dihadirkan pula diorama pasukan Prabu Siliwangi dan berbagai lukisan lain hingga era runtuhnya Kerajaan Pajajaran.
Selain itu juga ada diorama dan lukisan penemuan Prasasti Batutulis, desain Istana Bogor, pembangunan jalan Pos Daendels, pembagian zona Kota Bogor dan dihadirkan pula lukisan yang bercerita tentang tokoh Raden Saleh, Tirto Adhi Soerjo dan Keluarga Tan.
Dalam Galeri itu juga ditampilkan lukisan Bung Karno yang pernah berpidato di Lapangan Sempur, pengibaran bendera merah putih pertama di Gedung Bakorwil (saat ini Bogor Creative Center), peristiwa gugurnya Kapten Muslihat yang tengah digendong adiknya di Jembatan Merah, tokoh aktivis Soe Hok Gie, arsitek Masjid Istiqlal FX Silaban.
Galeri Bumi Parawira menghadirkan diorama pembangunan Tugu Kujang yang menggunakan helikopter, naskah legendaris Bung Karno yang bertuliskan ‘moga-moga Bogor jadi batu loncatan sejarah’, dan instalasi kendaraan Bemo.
Selain itu juga ditampilkan deretan program gemilang wali kota-wali kota terdahulu hingga saat ini, seperti pencapaian Piala Suratin dan Adipura pertama, kesuksesan perluasan transportasi, penyelesaian GKI Yasmin, hingga cikal bakal Sistem Informasi Berbagi Aduan dan Saran (Si Badra).
Galeri ini juga merekam fenomena pandemi Covid-19.
Dengan adanya Galeri ini kata Rudiyana, masyarakat bisa belajar mengenai sejarah ataupun kepustakaan melalui sumber yang akurat.
“Dan tempat ini diharapkan sebagai tempat pembelajaran bagi generasi muda, karena apa yang ditampilkan ini berbasis riset,” ujarnya.
Proses Riset Konten Bumi Parawira
Salah satu tim riset, Eko Hadi mengatakan, proses riset memakan waktu sekitar 9 bulan melibatkan kurang lebih sekitar 30 orang yang terdiri dari tim riset dari akademisi, sejarawan, penggiat sejarah, arsitek dan para pelukis serta komunitas kreatif.
Dalam melakukan riset pada berbagai tantangan yang dihadapi seperti sulitnya mencari referensi di masa kerajaan.
“Sehingga kita melakukan riset ke luar kota, seperti Ciamis, Cirebon, Kuningan. Kita melakukan studi di sana untuk mendapat petunjuk dan keterangan yang menjelaskan bahwa kondisi saat itu seperti apa, terutama untuk lukisan penobatan. Karena memang jarang sekali orang yang menggambarkan proses penobatan. Nah kita coba memvisualisasikan, mengilustrasikan seperti apa penobatan dikala itu,” katanya.
Proses Melukis
Proses memvisualisasikan peristiwa dimasa lalu dari hasil riset ke dalam bentuk lukisan tidaklah mudah. Seperti lukisan Penobatan Sri Baduga dibuat oleh tiga orang pelukis, yakni Agus Nur, Sobirin, Gunawan yang memakan waktu satu bulan yang dilakukan delapan jam sehari.
“Prosesnya cukup panjang, karena ada beberapa penyesuaian pakaian yang dipakai, seperti kala itu bajunya belum pakai kemben, segala macam, karena dari literasi, kemben baru ada di abad ke 15, sementara prosesi ini ada di abad 14 sehingga belum pakai. Jadi harus ada perubahan-perubahan lagi. Jadi dalam melukis ini kita menggunakan pendekatan yang paling mendekati,” kata Sobirin.
Sehingga lanjutnya, hasil karya yang ada di Bumi Parawira sudah sesuai visual kala itu berdasarkan hasil riset.
“Ini melukis bertiga kita diskusi dalam bentuk sketsa dulu, kemudian setelah sketsanya oke baru kita tuangkan di dalam kanvas. Pewarnaan bareng-bareng. Jadi
proses terjadinya gambar ini diawali oleh tim riset yang melakukan riset di daerah Ciamis, Cirebon dan sebagainya, untuk melihat petilasan-petilasan Prabu Siliwangi, seperti jalanan yang berbatu ini terus ini sama persis dengan ada yang di Ciamis. Kalau di dalam lukisan ini lokasinya sekitar Mbah Dalem,” katanya.
Sementara itu pelukis lainnya, Mulyana mengatakan bahwa proses pembuatan lukisan ini memiliki tantangan tersendiri. Sehingga dirinya menggunakan lebih dari dua foto dari hasil riset. Karena menurutnya lukisan Soekarno berpidato di lapangan Sempur ini merupakan lukisan pertama. (*rls)