FOKUSMEDIANEWS.COM, KOTA BANDUNG – Ikatan Wartawan Ekonomi dan Bisnis (IWEB) menggelar Diskusi Ekonomi di Kota Bandung, Kamis (27/6/2024). Tema yang diangkat dalam diskusi tersebut “Menilik Kemandirian Industri Jaw Barat Melalui Perspektif Importasi”.
Diskusi ekonomi ini menghadirkan pembicara diantaranya Pengamat Ekonomi dari Univesitas Pasundan, Acuviarta Kartabi dan Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Danang Girindrawardana.
Dalam diskusi diungkap pertumbuhaan ekonomi, terutama di Jawa Barat. Dimana Badan Pusat Statisik (BPS) mencatat petumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 mencapai 5,05 persen. Ini artinya lebih baik dibandingkan tahun 2020 yang mencapai 2,07 persen, 2021 mencapai 3,69 persen. Sedang tahun 2022 pertumbuhan ekonomi mencapai 5,31 persen.
Namun pengamat ekonomi, Acuviarta Kartabi berpendapat, perbaikan ekonomi ini tidak sejalan dengan pertumbuhan industri dalam negeri seperti tekstil dan produk tekstil (TPT). Ia mencontohkan, di Provinsi Jawa Barat, makin banyak industri gulung tikar di sektor TPT.
“Di Jawa Barat perekonomian memang angkanya bagus, tapi ketika melihat ke lapangan banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor industri,” ucap Acuviarta, dalam
Menurut Acuviarta, jika sektor ini terus terganggu maka akan banyak hal terjadi PHK yang berimbas pada banyaknya masyarakat yang tidak punya penghasilan sehingga konsumsi rumah tangga juga akan mengalami penurunan.
“Kalau banyak PHK di industri, ini jelas akan banyak masyarakat tak punya penghasilan dan konsumsi rumah tangga pun mau tak mau pasti menurun,” kata Acuviarta.
Acuviarta menurutkan bahwa dari data BPS di Jawa Barat memperlihatkan semakin banyak impor masuk ke provinsi Jawa Barat. Namun produk impor ini bisa jadi lebih tinggi karena banyak barang yang turunnya tidak di Jawa Barat
“Banyak produk import yang datang melalui di Jakarta atau Surabaya, kemudian dibawa melalui jalur darat ke Jawa Barat,” ujarnya.
Acuviarta menegaskan, selain banyaknya impor yang sangat mudah masuk ke dalam negeri, minimnya investasi yang bisa menunjang industri dalam negeri juga jadi persoalan lain.
“Kondisi ini menjadikan produk dari Indonesia jadi kalah bersaing dibandingkan negara pesaing,” tegasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Danang Girindrawardana, menuturkan bahwa tekstil dan produk tekstil saat ini menjadi sektor yang sangat tertekan dengan kemudahan izin impor dari Kementerian Perdagangan.
“BPS sudah merilis bahwa saat ini semakin banyak impor masuk ke dalam negeri khususnya barang siap pakai. Sementara impor bahan baku yang selama ini digunakan oleh industri angkanya perlahan menurun,” paparnya.
Data BPS, pada 2021 dari total struktur impor di Jawa Barat saja sudah mencapai 11,99 miliar dolar AS di mana impor konsumsi mencapai 6,56 persen, barang modal 10,94 persen, dan bahan baku/pemolong 82,50 persen.
“Kondisi ini kemudian berubah signifikan pada 2023 di mana impor mencapai 12,30 miliar dolar AS dengan sektor konsumsi mencapai 9,51 persen, barang modal 12,32 persen, dan bahan baku hanya 78,17 persen,” kata Danang.
“Dari sini saja bisa kita tahu kalau barang yang dikonsumsi warga itu naik angkanya. Sedangkan bahan baku terus turun padahal bahan baku ini kan biasanya dipakai industri dalam negeri untuk menghasilkan barang tertentu,” imbuhnya.
Belum lagi pada persoalan produk lain yang mulai banyak masuk ke Indonesia termasuk Jawa Barat seperti kain rajutan, impor plastik, dan filamen buata. Dimana barang-barang ini sebelum tahun 2020 masih banyak diproduksi di Indonesia.
“Dulu produk seperti ini bisa diproduksi massal di kita sendiri. Artinya kan memang pemerintah kita ini lebih doyan impor,” ungkap Danang. (**)
Sumber : Diskominfo Jabar